Monday, June 18, 2012

Resiko Bahaya dalam Kegiatan Caving

HIMPUNAN KEGIATAN SPELEOLOGI INDONESIA
FEDERATION OF INDONESIA SPELEOLOGICAL ACTIVITIES

        Apabila hendak membicarakan “BAHAYA” penelusuran gua, maka secara konseptual dan diakui secara INTERNASIONAL ialah adanya dua pengertian yang berbeda pendekatannya.
          Kedua pengertian itu harus diperhatikan secara bersama, tidak boleh terpisah dan keduanya harus  
ditangai secara bersama. Baik dari segi perizinan, rekomendasi, kegiatan penelusuran gua, pendataan gua, konsep pengolahan gua, untuk tujuan apapun.
  1. Pengertian ANTROPOSENTRISME.
  2. Pengertian SPELEOSENTRISME
   
ANTROPOSENTRISME.


            Dalam pemikiran ANTROPOSENTRISME, yang diperhatikan sebagai obyek utama ialah MANUSIA PENGUNJUNG GUA.
         MANUSIALAH yang perlu dilindungi terhadap bahaya. Ia harus aman, nyaman menelusuri gua.
Hal ini terutama dianut (secara salah, karena hanya memperhatikan satu segi saja) oleh para konsultan, pihak berwenang, pada waktu membuka gua untuk umum.
         Karena hanya mengutamakan keselamatan manusia, maka gua dikorbankan dan akan rusak.
Bahaya – bahaya dari sudut pandang ANTROPOSENTRISME:

1.1. Terpeleset  / terjatuh dengan akibat fatal, atau gegar otak, terkilir, terluka, patah tulang, dsb.
       Hal ini paling sering terjadi, antara lain karena: penelusur terburu-buru, loncat, salah menduga jarak yang 
       dilangkahi, dsb.
1.2. Kepala terantuk atap gua / stalaktit / bentukan gua lainnya.
       Akibatnya: luka memar, luka berdarah, gegar otak. Wajib pakai helm.
1.3. Tersesat. Terutama bila lorong bercabang – cabang dan daya orintasi pemimpin regu penelusuran gua kurang  
       baik. Karenanya setiap penelusur wajib dilakukan dengan penuh perhatian oleh setiap penelusur. Bentuk 
       lorong yang telah dilewati, dibelakang punggung harus diperhatikan secara periodic, karena saat kembali  
       pasti berbeda dengan saat pergi.
       Pada setiap percabangan ditnggalkan tanda yang mudah diperhatikan dan tidak merusak lingkungan 
       (misalnya tumpukan batu, atau kertas berwarna dan berefleksi bila kena sorotan lampu (fluorensensi) yang  
       mudah diangkat kembali). Bisa juga menelusi gua sambil mengukurnya dengan tali topofil. Pulangnya tinggal 
       ikuti tali tersebut sambil menggulungnya kembali. Hal ini tambah penting, apabila kecuali bercabang gua 
       bertingkat banyak.
1.4. Tenggelam. Terutama apabila nekat memasuki gua pada musim hujan tanpa mempelajari topografi dan 
       hidrologi karst maupun sifat sungai di bawah tanah. Bahaya menjadi semakin nyata kalau harus melewati air 
       terjun atau jeram deras. Apabila kalau harus melakukan penyelaman bebas tanpa alat dan penelusur kurang 
       mahir berenang / menyelam.
       Mengarungi sungai yang dalam, harus pakai tali pengaman dengan lintasan tetap.
1.5. Kedinginan (hipotermia). Hal ini terutama bila lokasi gua jauh di atas permukaan laut, penelusur beberapa 
       jam terendam air, dan adanya angin kencang yang berhembus dalam rolong tersebut.
       Diperberat apabila penelusur lelah, lapar, tidak pakai pakian memadai. Karenanya harus tepat tahu lokasi 
       mulut gua dan lorong-lorong, ketinggiannya di atas permukaan laut (diukur pakai altimeter), suhu air dan 
       udara dalam gua. Harus pula masuk gua dalam keadaan fisik sehat, cukup makan dan bawa makanan  
       cadangan bergizi tinggi.
1.6  Dehidrasi, Kekurangan cairan. Hal ini sudah merupakan bahan penelitian cermat di Perancis (lihat Warta 
       Speleo No 9 1987, halaman 49-53).
       Hampir senantiasa, bila sudah timbul rasa haus, sudah ada gejala dehidrasi dan minum cairan sudah 
       terlambat: tidak akan memenuhi kebutuhan lagi.
       Karenanya sudah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi lagi, bahwa sebelum 
       memasuki gua, setiap penelusur harus minum secukupnya. Semakin mengeluarkan tenaga, harus cukup 
       istirahat dan minum kembali. Cairan paling tepat untuk menghindari dehindrasi ialah larutan oralit atau 
       garam  
       anti-diare.
1.7.  Keruntuhan atap atau dinding gua.Ini memang nasib sial, tetapi sudah cukup sering terjadi di luar negeri 
       menaiki tebing dengan andalan pada paku tebing yang dindingnya rapuh. Atau bila kebetulan terjadi gempa 
       bumi.Karenanya wajib mempelajari dan memperhatikan sifat batu – batuan dinding dan atap gua. Runtuhan 
       atap yang berserakan bukan berarti gua itu rapuh, karena mungkin saja atap itu sudah puluhan tahun yang 
       lalu runtuh, tetapi penelusur wajib memperhatikan apakah lapisan – lapisan batu gamping yang menunjung 
       atap itu kuat sudah terlihat terlepas.
1.8.  Radiasi dalam gua. Hal ini belum diperhatikan sama sekali di Indonesia, padahal di luar negeri sudah 
       merupakan bahaya nyata. Terutama akibat gas radioaktif RADON dan turunannya.
       Penelusur yang sering memasuki gua yang ber gas Radon ini, dapat menyerap secara akumulatif gas ini ke 
       dalam paru – parunya, dan terbukti, apabila penelusur gemar merokok, maka bahaya menderita kanker paru 
       – paru akan berlipat ganda. Itu sebabnya sangat dicela penghisap rokok menjadi penelusur gua. Merokok di 
      dalam gua dilarang mutlak karena meracuni udara gua dan merusak paru-paru penelusur lainnya yang tidak 
       merokok.
1.9.  Keracuanan gas. Ini yang paling ditakuti awam.
       Memang bahaya itu ada, terutama bila sirkulasi dalam gua kurang baik. Gas yang senantiasa ada dalam 
       gua ialah gas CO2, karena tetasan air dari dinding dan atap gua senantiasa mendifusikan gas CO2 ini.
       Lebih-lebih bila terlihat menjuntai akar-akar pohon, atau banyak bahan organic yang membusuk di atas lantai 
       gua (daun, ranting, dsb yang hanyut ke dalam gua sewaktu banjir). Gejalanya: nafas akan sesak, frekuensi 
       bertambah banyak, melebihi keadaan normal. Dengan mengeluarkan tenaga yang relatif ringan, nadi 
       bertambah cepat secara tidak seimbang. Karenanya setiap penelusur gua wajib mengetahui frekuensi 
       nadinya masing-masing pada saat pada saat istirahat dan mengeluarkan tenaga. Gerakan nafas menjadi 
       dalam. Jantung berdebar, mata berkunang-kunang.
       Kemudian kepala menjadi pening, mual, hilang orentasi, bahkan tidak ingat nama teman. Timbul kemudian 
       halusinasi, pingsan dan mati.
       Wajib bagi kita bawa lilin. Nyalakan bila mulai timbul gejala sulit bernafas. Bila kandungan CO2 rendah, lilin, 
       bahkan korek api tidak akan menyala. Jangan andalkan cahaya lampu karbit. Lampu karbit masih menyala,  
       padahal si pemakainya mungkin sudah pinsang. Gas racun dapat juga akibat penggunaan dinamit untuk 
       membongkar bukit kapur. Di Belgia (1982) terbukti gas racun merambat sampai 3 km lebih dari lokasi 
       penelusur gua, dengan akibat fatal bagi 7 orang sekaligus. Jangan memasuki gua bila disekitarnya ada 
       pendinamitan.Gua yang banyak kelelawarnya juga tinggi kandungan CO2-nya (Gua Ngerong, Tuban; Gua 
       Lawa, Nusakambangan; dsb). Hal ini karena kelelawar membutuhkan banyak O2 sewaktu terbang, terusik 
       oleh masuknya orang ke dalam gua (sehingga orangnya juga kekurangan O2) dan tumpukan guano 
       (khususnya bila jenis kelelawarnya pemakan buah atau penghisap, nectar), yang mengalami proses 
       fermentasi / peragian, akan menghasilkan banyak gas CO2.
       Gua yang banyak kelelawarnya hanya boleh dimasuki pada malam hari, saat gua itu tidak ada 
       kelelawarnya. Lorong penuh kelelawar harus dihindari.

1.10.   Penyakit – penyakit akibat kuman / virus, dsb.

         1.10.1.       
         Histoplasmosis.Teramat sering diderita penelusuran gua di AS, terutama bila lorongnya penuh guano kering. Parasit Histoplasmosis capsulatum bila terhirup, akan menginfeksi paru-paru. Gejalanya sering mirip TBC, lengkap dengan batuk berdarah, sesak nafas, tubuh lemah, dan sering pula gagal diobati dokter, karena menyangka adanya TBC paru-paru (juga menurut gambaran Rontgen). Pasien wajib memberitahukan pada dokter akan kemungkinan penyakit ini, yang baru terungkap setelah dilakukan tes darah tertentu (titer histoplasma diperiksa dan akan memberi hasil tertinggi).
       Parasit ini bahkan bisa menyebar ke seluruh darah, ginjal dan otak, dengan akibat kematian. Karenanya wajib menghindari gua kelelawar dan bila tetap ingin menelusurinya wajib memakai tutup hidung khusus. Tutup hidung itu dapat dibeli di beberapa toko besi atau pakai tutup hidung ahli bedah.

         1.10.2.       
         Rabies. Hal ini sungguh mengejutkan pada penelusur gua di TEXAS, karena ada 7 penelusur sekaligus 
mati, terinfeksi rabies, padahal tidak digigit kelelawar, yang terkadang memang terinfeksi virus rabies. Gua FRIO yang mereka masuki memang banyak sekali kelelawarnya. Ketika ada tim dokter yang meneliti udara dalam gua, ternyata penuh dengan tetesan liur kelelawar, yang mengandung virus rabies.
        Virus ini memasuki paru-paru karena terhirup oleh bernafasnya penelusuran gua dan matilah penelusur itu, tanpa digigit kelelawar. Hal ini sekali lagi dapat disegah, apabila tidak memasuki gua yang banyak kelelawarnya, dan bila tetap memasukinya, harus pakai masker/tutup hidung). Di Indonesia belum ada yang meneliti apakah kelelawar ada yang sakit rabies. Yang jelas di Indonesia tidak ada vampir, penghisap darah. Kelelawar terjangkit rabies akibat menghisap darah ternak atau binatang yang menderita rabies. MULUS FEET. Ketika tim Inggris menelusuri gua-gua di Mulu (Serawak) selama beberapa minggu banyak yang kulit kaki dan jari-jarinya rusak. Terinfeksi berat, bahkan sampai membusuk. Diduga bahwa hal ini ditimbulkan oleh gabungan infeksi jamur dan bakteri. Kaki harus tetap kering, dan bila basah terendam air, jangan dibiarkan basah berjam-jam lamanya. Sebaiknya secara teratur mengganti kaos kaki dan ditaburi bedak antibiotika.
        Gatal-gatal terutama di bagian-bagian yang tidak tertutup pakaian. Hal ini sering sekali terjadi di Indonesia. Diduga bahwa gatal-gatal ini, yang berupa bintil-bintil dan persisten selama beberapa bulan.dtimbulkan oleh gigitan kutu (ektoparasit) kelelawar, yang juga mungkin dijumpai dalam guanonya.
Leptospisis. Hal ini banyak makan korban pada penelusur gua di Mulu. Badan mengigil, demam, pegal-pegal, lemas. Diduga malaria, ternyata pada saat diteliti secara serologis, di Inggris terbukti akibat tertular kuman leptospira, yang biasanya ditemukan dalam kencing tikus. Hal ini terutama serta minumnya tercemar kencing tikus gua.

         1.10.3.       
Gigitan binatang beracun.
      Ular, kalajengking, Lipan. Ular terjerumus dalam gua melalui lubang atap atau hanyut akibat banjir. Ular tersebut menjadi pemangsa kelelawar. Gigitan binatang apapun harus dianggap serius, dan penelusur yang digigit atau disengat harus keluar gua. Itu sebabnya setiap langkah dalam gua harus dilakukan dengan hati-hati, penuh kewaspadaan. Apalagi bila memegang sesuatu pada dinding atau atap gua untuk menjadi keseimbangan.
Keracuan bahan pencemar air dalam gua. Berbagai insektisida dan pupuk kimia, dapat merupakan polutan dan dapat membahayakan penelusur gua. Tim dari Lembaga Ekologi UNPAD pada tahun 1989 dapat membuktikannya adanya kandungan DDT dalam tetesan air dari plafon Gua Petruk.

1.11. Sambaran petir. Tidak ada yang menyangka, bahwa masuk dalam gua tidak menghindarkan seseorang dari 
        sambaran petir. Hal ini berulang kali terbukti, bahwa jauh ke dalam gua, petir masih dapat menyambar pula.

1.12. Bahaya akibat kesalahan atau kegagalan peralatan
        Hal ini terutama terjadi, apabila kurang persiapan membawa sumber cahaya. Betapa mudahpun suatu gua, 
        penelusur tetap akan mati, bila tidak cukup sumber cahaya. Apabila kalau sampai terserang banjir 
        berjam-jam lamanya. Setiap penelusur gua paling sedikit harus bawa tiga sumber cahaya yang berbeda 
        (termasuk lilin). Sumber cahaya utama harus dipadamkan sewaktu terjebak banjir. Bila perlu selama 
        beberapa jam harus digelapkan, agar masih cukup tersedia sumber cahaya untuk keluar gua setelah banjir
        lewat.
1.13. Akibat CAVE DAVING. Di AS (Florida) dalam kurun waktu 10 tahun, yang mati akibat kegiatan CAVE 
        DIVING sudah belasan. Hal ini justeru dialami oleh yang mahir OPEN DIVING (di laut / danau). Mereka 
        kurang hati-hati, dan kurang tingkat disiplinnya terhadap waktu dan jarak tempuh. Berbeda dengan 
        penyelaman di udara terbuka, di atas penyelam gua menghadang atap gua. Bila sudah terdesak waktu dan 
        setiap kali terantuk atap gua, maka penyelam gua biasanya panik dengan akibat fatal karena menghabiskan 
        udara yang dibutuhkan.
        Pada umumnya dianut pemeo bahwa, bahwa menelusuri gua itu jauh lebih aman daripada naik kendaraan 
        menuju gua  atau pulang dari penelusuran gua. Jalan raya adalah tempat yang jauh lebih rawan daripada 
        gua.
        Keamanan menelusuri gua sangat tergantung kepada sikap dan tindak tanduk si penelusur gua itu sendiri. 
        Untuk memudahkan si penelusur gua mengingat semua tindakan pengaman, maka HIKESPI telah 
        menyusun ringkasan singkat mudah diingat.

K emana Anda pergi memasuki gua, beritahukanlah kepada teman atau keluarga; KAPAN perginya, ke lokasi 
   mana dan KAPAN pulangnya.
E mpat orang adalah jumlah MINIMAL yang dianggap aman untuk menelusuri gua. Bila satu yang celaka, satu 
   menemaninya, dua yang keluar gua minta pertolongan.
A lat-alat yang dibawa harus memadahi. Setiap pemakai harus paham betul cara menggunakannya.
M embawa TIGA SUMBER CAHAYA, lengkap dengan cadangan perlatannya, merupakan kewajiban mutlak.
A jak selalu orang yang berpengalaman dalam teknik penelusuran dan berwibawa. Ia juga harus mengetahui  
   seluk beluk lingkungan di bawah tanah.
N afas sesak dan tersengal-sengal merupakan pertanda, bahwa ruang gua penuh karbodioksida. Karenanya 
   harus cepat keluar gua.
A kal sehat, ketrampilan, persiapan matang, perhitungan cepat dan tepat, serta pengalaman, menjadi 
   PEGANGAN PENELUSURAN GUA, bukan adu nasib atau kenekatan.
N aluri keselamatan yang ada pada setiap penelusur gua harus dikembangkan dan diperhatikan, karena naluri ini 
   sering diandalkan sebagai factor pengaman ampuh.

0 comments:

Post a Comment