HIMPUNAN KEGIATAN SPELEOLOGI INDONESIA
FEDERATION OF INDONESIA SPELEOLOGICAL ACTIVITIES
Apabila hendak membicarakan “BAHAYA” penelusuran gua, maka secara konseptual dan diakui secara INTERNASIONAL ialah adanya dua pengertian yang berbeda pendekatannya.
Kedua pengertian itu harus diperhatikan secara bersama, tidak boleh terpisah dan keduanya harus
ditangai secara bersama. Baik dari segi perizinan, rekomendasi, kegiatan penelusuran gua, pendataan gua, konsep pengolahan gua, untuk tujuan apapun.
- Pengertian ANTROPOSENTRISME.
- Pengertian SPELEOSENTRISME.
ANTROPOSENTRISME.
Dalam pemikiran ANTROPOSENTRISME, yang diperhatikan sebagai obyek utama ialah MANUSIA PENGUNJUNG GUA.
MANUSIALAH yang perlu dilindungi terhadap bahaya. Ia harus aman, nyaman menelusuri gua.
Hal ini terutama dianut (secara salah, karena hanya memperhatikan satu segi saja) oleh para konsultan, pihak berwenang, pada waktu membuka gua untuk umum.
Karena hanya mengutamakan keselamatan manusia, maka gua dikorbankan dan akan rusak.
Bahaya – bahaya dari sudut pandang ANTROPOSENTRISME:
1.1. Terpeleset / terjatuh dengan akibat fatal, atau gegar otak, terkilir, terluka, patah tulang, dsb.
Hal ini paling sering terjadi, antara lain karena: penelusur terburu-buru, loncat, salah menduga jarak yang
dilangkahi, dsb.
1.2. Kepala terantuk atap gua / stalaktit / bentukan gua lainnya.
Akibatnya: luka memar, luka berdarah, gegar otak. Wajib pakai helm.
1.3. Tersesat. Terutama bila lorong bercabang – cabang dan daya orintasi pemimpin regu penelusuran gua kurang
baik. Karenanya setiap penelusur wajib dilakukan dengan penuh perhatian oleh setiap penelusur. Bentuk
lorong yang telah dilewati, dibelakang punggung harus diperhatikan secara periodic, karena saat kembali
pasti berbeda dengan saat pergi.
Pada setiap percabangan ditnggalkan tanda yang mudah diperhatikan dan tidak merusak lingkungan
(misalnya tumpukan batu, atau kertas berwarna dan berefleksi bila kena sorotan lampu (fluorensensi) yang
mudah diangkat kembali). Bisa juga menelusi gua sambil mengukurnya dengan tali topofil. Pulangnya tinggal
ikuti tali tersebut sambil menggulungnya kembali. Hal ini tambah penting, apabila kecuali bercabang gua
bertingkat banyak.
1.4. Tenggelam. Terutama apabila nekat memasuki gua pada musim hujan tanpa mempelajari topografi dan
hidrologi karst maupun sifat sungai di bawah tanah. Bahaya menjadi semakin nyata kalau harus melewati air
terjun atau jeram deras. Apabila kalau harus melakukan penyelaman bebas tanpa alat dan penelusur kurang
mahir berenang / menyelam.
Mengarungi sungai yang dalam, harus pakai tali pengaman dengan lintasan tetap.
1.5. Kedinginan (hipotermia). Hal ini terutama bila lokasi gua jauh di atas permukaan laut, penelusur beberapa
jam terendam air, dan adanya angin kencang yang berhembus dalam rolong tersebut.
Diperberat apabila penelusur lelah, lapar, tidak pakai pakian memadai. Karenanya harus tepat tahu lokasi
mulut gua dan lorong-lorong, ketinggiannya di atas permukaan laut (diukur pakai altimeter), suhu air dan
udara dalam gua. Harus pula masuk gua dalam keadaan fisik sehat, cukup makan dan bawa makanan
cadangan bergizi tinggi.
1.6 Dehidrasi, Kekurangan cairan. Hal ini sudah merupakan bahan penelitian cermat di Perancis (lihat Warta
Speleo No 9 1987, halaman 49-53).
Hampir senantiasa, bila sudah timbul rasa haus, sudah ada gejala dehidrasi dan minum cairan sudah
terlambat: tidak akan memenuhi kebutuhan lagi.
Karenanya sudah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi lagi, bahwa sebelum
memasuki gua, setiap penelusur harus minum secukupnya. Semakin mengeluarkan tenaga, harus cukup
istirahat dan minum kembali. Cairan paling tepat untuk menghindari dehindrasi ialah larutan oralit atau
garam
anti-diare.
1.7. Keruntuhan atap atau dinding gua.Ini memang nasib sial, tetapi sudah cukup sering terjadi di luar negeri
menaiki tebing dengan andalan pada paku tebing yang dindingnya rapuh. Atau bila kebetulan terjadi gempa
bumi.Karenanya wajib mempelajari dan memperhatikan sifat batu – batuan dinding dan atap gua. Runtuhan
atap yang berserakan bukan berarti gua itu rapuh, karena mungkin saja atap itu sudah puluhan tahun yang
lalu runtuh, tetapi penelusur wajib memperhatikan apakah lapisan – lapisan batu gamping yang menunjung
atap itu kuat sudah terlihat terlepas.
1.8. Radiasi dalam gua. Hal ini belum diperhatikan sama sekali di Indonesia, padahal di luar negeri sudah
merupakan bahaya nyata. Terutama akibat gas radioaktif RADON dan turunannya.
Penelusur yang sering memasuki gua yang ber gas Radon ini, dapat menyerap secara akumulatif gas ini ke
dalam paru – parunya, dan terbukti, apabila penelusur gemar merokok, maka bahaya menderita kanker paru
– paru akan berlipat ganda. Itu sebabnya sangat dicela penghisap rokok menjadi penelusur gua. Merokok di
dalam gua dilarang mutlak karena meracuni udara gua dan merusak paru-paru penelusur lainnya yang tidak
merokok.
1.9. Keracuanan gas. Ini yang paling ditakuti awam.
Memang bahaya itu ada, terutama bila sirkulasi dalam gua kurang baik. Gas yang senantiasa ada dalam
gua ialah gas CO2, karena tetasan air dari dinding dan atap gua senantiasa mendifusikan gas CO2 ini.
Lebih-lebih bila terlihat menjuntai akar-akar pohon, atau banyak bahan organic yang membusuk di atas lantai
gua (daun, ranting, dsb yang hanyut ke dalam gua sewaktu banjir). Gejalanya: nafas akan sesak, frekuensi
bertambah banyak, melebihi keadaan normal. Dengan mengeluarkan tenaga yang relatif ringan, nadi
bertambah cepat secara tidak seimbang. Karenanya setiap penelusur gua wajib mengetahui frekuensi
nadinya masing-masing pada saat pada saat istirahat dan mengeluarkan tenaga. Gerakan nafas menjadi
dalam. Jantung berdebar, mata berkunang-kunang.
Kemudian kepala menjadi pening, mual, hilang orentasi, bahkan tidak ingat nama teman. Timbul kemudian
halusinasi, pingsan dan mati.
Wajib bagi kita bawa lilin. Nyalakan bila mulai timbul gejala sulit bernafas. Bila kandungan CO2 rendah, lilin,
bahkan korek api tidak akan menyala. Jangan andalkan cahaya lampu karbit. Lampu karbit masih menyala,
padahal si pemakainya mungkin sudah pinsang. Gas racun dapat juga akibat penggunaan dinamit untuk
membongkar bukit kapur. Di Belgia (1982) terbukti gas racun merambat sampai 3 km lebih dari lokasi
penelusur gua, dengan akibat fatal bagi 7 orang sekaligus. Jangan memasuki gua bila disekitarnya ada
pendinamitan.Gua yang banyak kelelawarnya juga tinggi kandungan CO2-nya (Gua Ngerong, Tuban; Gua
Lawa, Nusakambangan; dsb). Hal ini karena kelelawar membutuhkan banyak O2 sewaktu terbang, terusik
oleh masuknya orang ke dalam gua (sehingga orangnya juga kekurangan O2) dan tumpukan guano
(khususnya bila jenis kelelawarnya pemakan buah atau penghisap, nectar), yang mengalami proses
fermentasi / peragian, akan menghasilkan banyak gas CO2.
Gua yang banyak kelelawarnya hanya boleh dimasuki pada malam hari, saat gua itu tidak ada
kelelawarnya. Lorong penuh kelelawar harus dihindari.
1.10. Penyakit – penyakit akibat kuman / virus, dsb.
1.10.1.
Histoplasmosis.Teramat sering diderita penelusuran gua di AS, terutama bila lorongnya penuh guano kering. Parasit Histoplasmosis capsulatum bila terhirup, akan menginfeksi paru-paru. Gejalanya sering mirip TBC, lengkap dengan batuk berdarah, sesak nafas, tubuh lemah, dan sering pula gagal diobati dokter, karena menyangka adanya TBC paru-paru (juga menurut gambaran Rontgen). Pasien wajib memberitahukan pada dokter akan kemungkinan penyakit ini, yang baru terungkap setelah dilakukan tes darah tertentu (titer histoplasma diperiksa dan akan memberi hasil tertinggi).
Parasit ini bahkan bisa menyebar ke seluruh darah, ginjal dan otak, dengan akibat kematian. Karenanya wajib menghindari gua kelelawar dan bila tetap ingin menelusurinya wajib memakai tutup hidung khusus. Tutup hidung itu dapat dibeli di beberapa toko besi atau pakai tutup hidung ahli bedah.
1.10.2.
Rabies. Hal ini sungguh mengejutkan pada penelusur gua di TEXAS, karena ada 7 penelusur sekaligus
mati, terinfeksi rabies, padahal tidak digigit kelelawar, yang terkadang memang terinfeksi virus rabies. Gua FRIO yang mereka masuki memang banyak sekali kelelawarnya. Ketika ada tim dokter yang meneliti udara dalam gua, ternyata penuh dengan tetesan liur kelelawar, yang mengandung virus rabies.
Virus ini memasuki paru-paru karena terhirup oleh bernafasnya penelusuran gua dan matilah penelusur itu, tanpa digigit kelelawar. Hal ini sekali lagi dapat disegah, apabila tidak memasuki gua yang banyak kelelawarnya, dan bila tetap memasukinya, harus pakai masker/tutup hidung). Di Indonesia belum ada yang meneliti apakah kelelawar ada yang sakit rabies. Yang jelas di Indonesia tidak ada vampir, penghisap darah. Kelelawar terjangkit rabies akibat menghisap darah ternak atau binatang yang menderita rabies. MULUS FEET. Ketika tim Inggris menelusuri gua-gua di Mulu (Serawak) selama beberapa minggu banyak yang kulit kaki dan jari-jarinya rusak. Terinfeksi berat, bahkan sampai membusuk. Diduga bahwa hal ini ditimbulkan oleh gabungan infeksi jamur dan bakteri. Kaki harus tetap kering, dan bila basah terendam air, jangan dibiarkan basah berjam-jam lamanya. Sebaiknya secara teratur mengganti kaos kaki dan ditaburi bedak antibiotika.
Gatal-gatal terutama di bagian-bagian yang tidak tertutup pakaian. Hal ini sering sekali terjadi di Indonesia. Diduga bahwa gatal-gatal ini, yang berupa bintil-bintil dan persisten selama beberapa bulan.dtimbulkan oleh gigitan kutu (ektoparasit) kelelawar, yang juga mungkin dijumpai dalam guanonya.
Leptospisis. Hal ini banyak makan korban pada penelusur gua di Mulu. Badan mengigil, demam, pegal-pegal, lemas. Diduga malaria, ternyata pada saat diteliti secara serologis, di Inggris terbukti akibat tertular kuman leptospira, yang biasanya ditemukan dalam kencing tikus. Hal ini terutama serta minumnya tercemar kencing tikus gua.
1.10.3.
Gigitan binatang beracun.
Ular, kalajengking, Lipan. Ular terjerumus dalam gua melalui lubang atap atau hanyut akibat banjir. Ular tersebut menjadi pemangsa kelelawar. Gigitan binatang apapun harus dianggap serius, dan penelusur yang digigit atau disengat harus keluar gua. Itu sebabnya setiap langkah dalam gua harus dilakukan dengan hati-hati, penuh kewaspadaan. Apalagi bila memegang sesuatu pada dinding atau atap gua untuk menjadi keseimbangan.
Keracuan bahan pencemar air dalam gua. Berbagai insektisida dan pupuk kimia, dapat merupakan polutan dan dapat membahayakan penelusur gua. Tim dari Lembaga Ekologi UNPAD pada tahun 1989 dapat membuktikannya adanya kandungan DDT dalam tetesan air dari plafon Gua Petruk.
1.11. Sambaran petir. Tidak ada yang menyangka, bahwa masuk dalam gua tidak menghindarkan seseorang dari
sambaran petir. Hal ini berulang kali terbukti, bahwa jauh ke dalam gua, petir masih dapat menyambar pula.
1.12. Bahaya akibat kesalahan atau kegagalan peralatan
Hal ini terutama terjadi, apabila kurang persiapan membawa sumber cahaya. Betapa mudahpun suatu gua,
penelusur tetap akan mati, bila tidak cukup sumber cahaya. Apabila kalau sampai terserang banjir
berjam-jam lamanya. Setiap penelusur gua paling sedikit harus bawa tiga sumber cahaya yang berbeda
(termasuk lilin). Sumber cahaya utama harus dipadamkan sewaktu terjebak banjir. Bila perlu selama
beberapa jam harus digelapkan, agar masih cukup tersedia sumber cahaya untuk keluar gua setelah banjir
lewat.
lewat.
1.13. Akibat CAVE DAVING. Di AS (Florida) dalam kurun waktu 10 tahun, yang mati akibat kegiatan CAVE
DIVING sudah belasan. Hal ini justeru dialami oleh yang mahir OPEN DIVING (di laut / danau). Mereka
kurang hati-hati, dan kurang tingkat disiplinnya terhadap waktu dan jarak tempuh. Berbeda dengan
penyelaman di udara terbuka, di atas penyelam gua menghadang atap gua. Bila sudah terdesak waktu dan
setiap kali terantuk atap gua, maka penyelam gua biasanya panik dengan akibat fatal karena menghabiskan
udara yang dibutuhkan.
Pada umumnya dianut pemeo bahwa, bahwa menelusuri gua itu jauh lebih aman daripada naik kendaraan
menuju gua atau pulang dari penelusuran gua. Jalan raya adalah tempat yang jauh lebih rawan daripada
gua.
Keamanan menelusuri gua sangat tergantung kepada sikap dan tindak tanduk si penelusur gua itu sendiri.
Untuk memudahkan si penelusur gua mengingat semua tindakan pengaman, maka HIKESPI telah
menyusun ringkasan singkat mudah diingat.
K emana Anda pergi memasuki gua, beritahukanlah kepada teman atau keluarga; KAPAN perginya, ke lokasi
mana dan KAPAN pulangnya.
E mpat orang adalah jumlah MINIMAL yang dianggap aman untuk menelusuri gua. Bila satu yang celaka, satu
menemaninya, dua yang keluar gua minta pertolongan.
A lat-alat yang dibawa harus memadahi. Setiap pemakai harus paham betul cara menggunakannya.
M embawa TIGA SUMBER CAHAYA, lengkap dengan cadangan perlatannya, merupakan kewajiban mutlak.
A jak selalu orang yang berpengalaman dalam teknik penelusuran dan berwibawa. Ia juga harus mengetahui
seluk beluk lingkungan di bawah tanah.
N afas sesak dan tersengal-sengal merupakan pertanda, bahwa ruang gua penuh karbodioksida. Karenanya
harus cepat keluar gua.
A kal sehat, ketrampilan, persiapan matang, perhitungan cepat dan tepat, serta pengalaman, menjadi
PEGANGAN PENELUSURAN GUA, bukan adu nasib atau kenekatan.
N aluri keselamatan yang ada pada setiap penelusur gua harus dikembangkan dan diperhatikan, karena naluri ini
sering diandalkan sebagai factor pengaman ampuh.
0 comments:
Post a Comment